Shell VS CSR


Kondisi dunia bisnis saat ini tidak lagi sama dengan kondisi bisnis pada 100 tahun silam. Banyak perubahan yang terjadi, termasuk skala bisnisnya. Bisnis pun telah menjadi denyut nadi bagi pemasukan negara, baik negara besar maupun negara kecil. Dengan adanya bisnis, segala proses produksi dan lapangan pekerjaan pun terpenuhi. Sayangnya, banyak dampak negatif yang kemudian bermunculan dari berkembangnya bisnis-bisnis saat ini, ambil saja kasus pada perusahaan besar bernama Royal Dutch Shell. Siapa yang tidak kenal dengan perusahaan multinasional satu ini? Perusahaan raksasa yang berbadan hukum Inggris dan Wales, berkantor pusat di Den Haag, serta tercatat di bursa efek London, adalah perusahaan yang telah beroperasi di lebih dari 90 negara dan kawasan dengan bisnis termasuk eksplorasi dan produksi minyak dan gas; produksi dan pemasaran liquefied natural gas (LNG) dan gas cair, manufaktur, pemasaran dan pengiriman produk minyak dan kimia serta proyek pembaruan energi. Shell merupakan hasil merger dua perusahaan besar, Royal Dutch Petroleum Company dari Belanda dan Shell Transport and Trading Ltd. Dari Inggris pada Pebruari 1970, dengan kesepakatan 60% grup-grup Royal Dutch Shell dikuasai oleh Belanda, dan 40% dikuasai oleh Inggris. Kini Shell telah beroperasi lebih dari 140 negara di seluruh dunia dalam bentuk grup-grup yang menjadi representasi Shell di masing-masing negara. Lahan bisnis Shell pun bervariasi seperti Shell Chemicals, Shell Hydrogen, Shell Motorsport, dan masih banyak lagi, termasuk pengeboran dan produksi minyak.

Sayangnya, besarnya lahan bisnis Shell tidak sebanding dengan tindakan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility—CSR) terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Seperti yang disebutkan dalam Jurnal Apokalips, Shell sendiri memiliki sejarah kejahatan di berbagai negara seperti kasus pelanggaran HAM, kebocoran pipa minyak, kebakaran, kecelakaan, kematian pekerjaan, pencemaran lingkungan, dan tentu saja pemanasan global. Shell terlibat dan terbukti bertanggung jawab atas aktivitas-aktivitas anti serikat pekerja di Inggris, tumpahnya 230.000 galon bensin ke anak sungai di Washington, kebakaran, ledakan, dan kebocoran pipa yang sering terjadi di pabrik Shell di Durban, sungai yang dijadikan masyarakat lokal Peru sebagai sumber kehidupan berubah warna menjadi hitam pekat karena tercampur limbah, dan masih banyak lagi kasus kejahatan yang dilakukan Shell. Hebatnya lagi, sebuah tindakan tidak adil –eksekusi mati—dijatuhkan kepada seorang aktivis lingkungan bernama Ken Saro-Wiwa dan 8 orang lainnya karena menentang Shell.

Pada tahun 1950-an, sejak cadangan besar petroleum ditemukan di Nigeria, minyak telah menjadi bagian penting dalam perekonomian Nigeria. Banyak korporasi multinasional menanamkan investasinya dalam melakukan eksplorasi, salah satunya adalah Shell dan yang paling besar mendominasi kegiatan tersebut. Shell bahkan menguasai sekitar 60% dari keseluruhan pasar minyak domestik di Nigeria. Setiap harinya sekitar 12 juta barrel minyak diekspor berasal dari 12% tanah Nigeria, namun tidak sediktpun masyarakat yang tinggal di atas tanah eksploitasi tersebut memperoleh keuntungan apapun. Tidak hanya merusak lingkungan, kelangsungan hidup masyarakat setempat pun diambil paksa. Kebocoran pada bahan-bahan pengolahan minyak sering terjadi, yang akhirnya mencemari perairan persawahan dan sumber air irigasi sehingga para petani mengalami gagal panen. Ribuan masyarakat Ogoni yang berdiam di Nigeria telah kehilangan pekerjaan, kesehatan, dan kehidupan dalam sekejap.

Tindakan yang dilakukan Shell sangat jauh dari tanggung jawab sosial perusahaan, mengingat Shell adalah perusahaan multinasional yang sudah sewajarnya memperhatikan kondisi dari segala aspek, baik lingkungan maupun masyarakat sekitar. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep CSR. Sebelumnya, menelisik sedikit tentang definisi CSR atau tanggung jawab perusahaan, menurut Bank Dunia “CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”.

Sementara versi Uni Eropa mengatakan ”CSR is aconcept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”.

Elkington pun memberi definisi dimana CSR mencakup tiga dimensi atau 3P, yaitu:

a. Mencapai keuntungan bagi perusahaan (Profit),

b. Memberdayakan masyarakat (People), dan

c. Memelihara kelestaria alam atau bumi (Planet).

Dari beberapa definisi di atas bila ditilik lebih jauh sebenarnya terkandung inti yang hampir sama, yakni selalu mengacu pada kenyataan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian penting dari strategi bisnis yang berkaitan erat dengan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Di samping itu, apa yang dilakukan dalam implementasi dari tanggung jawab sosial tersebut tidak berdasarkan pada tekanan dari masyarakat, pemerintah, atau pihak lain, tetapi berasal dari kehendak, komitmen, dan etika moral dunia bisnis sendiri yang tidak dipaksakan.

Semua organisasi pada hakikatnya merupakan sistem terbuka yang bergantung pada lingkungannya. Karena ketergantungan itu, maka setiap organisasi perlu memperhatikan pandangan dan harapan masyarakat. Semua organisasi harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan Shell, bukannya memperhatikan pandangan dan harapan masyarakat, Shell melalui badan hukumnya justru mengusir paksa masyarakat Ogoni yang memperjuangkan kehidupannya. Bahkan para aktivis Movement for Survival of the Ogoni People (MOSOP) dijatuhi eksekusi mati oleh pengadilan militer Nigeria karena memperjuangkan sumber kehidupan dan hak-hak hidup masyarakat Ogoni.

Tanggung jawab sosial memang telah menjadi isu yang kian penting karena masyarakat semakin besar asanya terhadap organisasi atau perusahaan. Tetapi tindakan-tindakan atas pelanggaran HAM maupun pengrusakan lingkungan seperti yang dilakukan Shell jelas ada di mana saja, bukan hanya di Nigeria. Namun uniknya, tindakan brutal yang dilakukan para korporat tak bertanggung jawab tersebut justru memperoleh perlindungan secara hukum. Shell, hingga kini, masih terus beraktivitas dengan bebas di Nigeria dengan 5 perusahaannya, yaitu Shell Petrolum Development Company (SPDC), Shell Nigeria Exploration an Production Company (SNEPCO), Shell Nigeria Gas (SNG), Shell Nigeria Oil Products (SNOP), dan Nigeria Liquified Natural Gas (NLNG). Padahal beberapa orang percaya bahwa untuk memperlakukan stakeholder dan lingkungan dengan penuh tanggung jawab, organisasi bisnis juga harus mendorong kesejahteraan umum masyarakat. Kemiskinan global dan pengakuan terhadap HAM adalah kegiatan yang sudah seyogyanya diususng oleh tiap perusahaan sejak awal berdirinya perusahaan hingga kapan pun.


Sumber:

Buletin Studi Ekonomi Volume 13 Nomor 1 Tahun 2008

Jurnal Apokalips Nomor 04 - Januari 2007


0 komentar:

Posting Komentar