Surat buat Kita

kau tahu apa yang disebut keadilan?
aku tak tahu maka aku bertanya...

memperoleh beasiswa adalah hal yang menyenangkan untuk sbagian besar penerima beasiswa. Terutama jika proses pengurusannya tidak banyak embel-embel merepotkan di belakangnya. Lantas bagaimana halnya dg yang bukan penerima beasiswa tapi usaha yg dilakukannya untuk memperoleh beasiswa bukan main kerasnya?
Hal sperti ini mungkin sudah terlalu sering terjadi. Tetapi kemarin(23/8), setelah membaca sbuah tulisan dlm media jurnalis kampus akhirnya diketahui bahwa ketidakadilan dalam penerimaan beasiswa benar-benar ada.
Tak sedikit yang menjadi penerima beasiswa adalah mereka yang terfasilitasi segala kebutuhannya dengan barang-barang yang tergolong "tidak murah". Laptop dg kualifikasi canggih, blackbarry yang berselimut dalam genggaman, baju-baju ternama keluaran luar negri, atau bahkan kendaraan pribadi roda empat versi terbaru selalu menemani. Dan saat ada pemberitaan bahwa beasiswa yang diprogramkan telah lolos dan dananya telah cair, air liur pun menetes deras dan list "barang belanjaan" pun siap direalisasikan.

Bagaimana dg mereka yang SANGAT menaruh harapan kpd beasiswa? Berharap beasiswa akan jatuh ditangannya. Dan dg beasiswa tsb bkurang lah beban kehidupannya. Bayangkan saja bagaimana rasanya jika dalam pengurusan beasiswa seseorang harus pulang dulu ke kampung halamannya hanya sekedar meminta "taken" dari pak lurah dan pak RT. Belum lagi kalau harus habiskan setengah hari dalam pjalanan menuju kampung halaman.
Dan ketika pengumuman daftar penerima beasiswa pun keluar, ternyata nama dirinya, nama yang teramat sangat diharapkan tertera dalam daftar justru tidak tertulis sama sekali. Malah nama beberapa teman, yang terfasilitasi tetek bengek hidupnya lah yang terdaftar dalam list. Coba bayangkan!
Mungkin rasanya seperti dihantam palu-palu seberat buldozer.

Di sini saya tidak mengatakan atau menyerukan untuk tak usah memrogramkan beasiswa sama sekali atau mencubit seluruh pihak yang mengurus administrasi beasiswa.
Jika kita, saya dan teman-teman, adalah penerima beasiswa atau segala bentuk bantuan-bantuan mahasiswa, dan tergolong ke dalam mahasiswa mampu, tidak ada salahnya jika kita berbagi rezqi dg teman-teman kita yang lebih layak menerimanya. Atau kita sebagai rekening mereka dlm menerima beasiswa (atau bantuan mahasiswa).
Dan bisa jadi apa yang kita peroleh adalah milik mereka.

Toh dg berbagi atau memberikan seluruhnya tdk akan membuat kita (saya dan teman-teman) menjadi manusia hina, pendosa, atau malu-maluin..
Betol? Betol? Betol?

Begitu Indah

Bila cinta menggugah rasa
Begitu indah mengukir hatiku
Menyentuh jiwaku
Hapuskan semua gelisah

Duhai cintaku duhai pujaanku
Datang padaku dekat di sampingku
Ku ingin hidupku
Selalu dalam peluknya

Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karena dia…karena dia…
Begitu indah

Duhai cintaku….pujaan hatiku
Peluk diriku dekap jiwaku
Bawa ragaku…melayang…
Memeluk bintang

Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa


Oleh: Bayu Gawtama

“Abang becak..?”

Kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi.

“Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan…,” gumamku.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan… untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saaat kebanyakan orang tengah berpuasa.

“Mmm…, Abang muslim bukan?” tanyaku ragu-ragu.

“Ya Dik, saya muslim…,” jawabnya terengah sambil terus mengayuh.

“Tapi kenapa Abang tidak puasa? Abang tahu kan ini bulan Ramadhan. Sebagai muslim seharusnya Abang berpuasa. Kalaupun Abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi Abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa…,” deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.

Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

“Dua hari pertama puasa kemarin Abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja Dik, Abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini pun makanan pertama Abang sejak kemarin malam.”

Tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk memotongnya, “Tak perlu ajari Abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa,” jelas abang tukang becak itu.

“Maksud Abang?” Mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.

“Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya.…”

“Jadi..,” belum sempat kuteruskan kalimatku, “Orang-orang berpuasa hanya di bulan Ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan Ramadhan atau bukan….”

“Abang sejak tadi siang bingung Dik, mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya Abang tidak menghormati orang yang tidak berpuasa, tapi…,” kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tidak terganjal mungkin roda becak ini pun takkan berputar….

Kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri. Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya tampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

“Wah, enggak ada kembaliannya, Dik…!”

Hmm, simpan saja buat sahur Abang besok ya…!”