untuk mahasiswa di fakultas saya yang sedang menyusun skripsi

Gambar Apa Ini?

Pelangi, Laut, Langit.



Pelangi terlukis indah karena ketujuh warnanya, bukan karena warna ketujuhnya. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Mereka terbentuk dan tersusun indah karena... Entahlah. Lupa. Mungkin saja mereka terbentuk dan tersusun karena cat di surga sedang luntur, sedang mencair, karena terkena air hujan. Lalu ketika cat itu pun mengering karena sinar matahari menempa cat-cat itu, maka ketika itulah Pelangi terhias di Langit. Mungkin saja.

Kenapa tidak terpikir untuk belajar banyak bak Pelangi, yang punya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Mereka kompak. Yakin, mereka saling merangkul satu sama lain. Tak rela melepas yang di sampingnya. Coba pikir, apa jadinya jika tak terlukis kuning di sana? Bisa jadi Si Hijau atau Si Jingga tak dikenal oleh penghuni bumi. Dan pikir lagi, bagaimana jadinya jika air hujan tak diizinkan sedikit pun untuk membelai cat di surga? Mungkin tak ada Pelangi. Belajar bak Pelangi tak ada salahnya. Hidup itu memang penuh warna.

Lantas dimana Pelangi akan bertengger jika Langit tak ada?

Langit. Seseorang pernah berkata kalau Langit itu tidak. Langit itu hanya sebuah istilah yang merepresentasikan batas pandang. Untuk sekian meter, warnanya biru muda. Dan jika lebih dari sekian meter, warnanya mendekati putih. Semakin jauh, semakin putih. Tapi buatku, langit itu ada.

Langit itu bak jalan yang tak henti. Tangannya membentang begitu luas. Tapi, jangan takut untuk bermain dengannya. Jika tak suka dengan warnanya, jangan jadikan masalah. Boleh jadi ia sedang terpesona oleh keelokan Sang Laut. Tidakkah Langit dan Laut itu bak sepasag kekasih yang sedang dimabuk cinta? Sama-sama biru. Sama-sama luas. Sama-sama indah. Bisa jadi mereka memang sepasang kekasih yang tak henti untuk saling cinta meskipun mereka tak mampu saling memeluk. Jadi selama Laut itu ada, Pelangi tak perlu cemas untuk mencari tempat bertenggernya, Langit.

Langit dan Laut. Ah, romantis nian mereka. Tak ada ruginya belajar dari Langit dan Laut ketika mulai bosan dengan kisah romantisme Romeo-Juliet.

24062011—10:57pm.

Selalu Ada Jawaban

Ketika kita mengeluh: “Tak mungkin”,

Allah menjawab: “Jika Allah menghendaki sesuatu, cukup berkata jadi, maka jadilah...” (QS. Yasin: 82)


Ketika kita mengeluh: “Aku tak mampu”,

Allah menjawab: “Allah tidak membebankan sesuatu pada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya...” (QS. Al Baqarah:286)


Ketika kita mengeluh: “Aku stress”,

Allah menjawab: “Hanya dengan mengingat Allah hati jadi tenang...” (QS. Ar-Ra’du: 28)


Ketika kita menggerutu: “Tak ada gunanya”,

Allah menjawab: “Maka barangsiapa mengerjakan amal kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat balasan kebaikannya...” (Al-Zalzalah:7)

Susah cari Pak Oemar Bakri



Susah cari Pak Oemar Bakri di sekolah-sekolah jaman sekarang, apalagi Bu Halimah. Masyaallah susahnya. Adek saya yang kelas enam SD dimintai amplop berisi rupiah oleh guru kelas. Lucunya lagi ini guru kelasnya cs'an sama kepala sekolah.

Di bangku kuliah hampir sama lah. Ini dosen malah terang-terangan minta dibawakan rokok. Mahasiswanya juga sih yang minta diperlakukan seperti itu. Kalau ada ujian proposal skripsi, tidak jarang mahasiswa yang sedang diuji bawa kantongan besar berisi kue-kue dos. Padahal para tim penguji sudah didoskan kue sama yang urus-urus ujian. Mana itu tim penguji juga dapat bayaran kok. Menakutkan memang. Dan juga memalukan.

Saya juga pernah lakukan seperti itu. Saya belum paham kalau ada pilihan antara "mau jadi orang yang punya moral" atau "tidak punya" waktu itu. Ya supaya dapat nilai bagus, saya rela capek-capek bawa jeruk satu kantong plastik besar ke sekolah saya. Trus saya juga tega minta sama nenek saya untuk beli kerudung dari gaji pensiunan tentaranya kakek saya. Ya kerudungnya bukan untuk saya, tapi untuk sebuah "kasih saya nilai A ya bu guru" ke guru saya. Gila memang.

Sekarang? Ndak tahu dari mana berawal, tapi itu sangat memalukan. Coba pikirkan, sebenarnya dengan tanpa memberi bingkisan "kasih saya nilai A ya bu guru", saya bisa dapat nilai bagus. Ya kalaupun faktanya nilai saya tidak bagus, itu tidak jadi masalah. Ini bukan perkara nilai A-nya, tapi perkara apakah saya akan mampu mempertanggungjawabkan A saya itu?

Sudahlah. Malu kalau harus menyogok! Malu kalau harus terima sogokan! Malu! Malu-maluin!

Kalau susah cari Pak Oemar Bakri, ya kita saja kalau gitu yang jadi Pak Oemar Bakri, atau jadi Bu Halimah...


Shell VS CSR


Kondisi dunia bisnis saat ini tidak lagi sama dengan kondisi bisnis pada 100 tahun silam. Banyak perubahan yang terjadi, termasuk skala bisnisnya. Bisnis pun telah menjadi denyut nadi bagi pemasukan negara, baik negara besar maupun negara kecil. Dengan adanya bisnis, segala proses produksi dan lapangan pekerjaan pun terpenuhi. Sayangnya, banyak dampak negatif yang kemudian bermunculan dari berkembangnya bisnis-bisnis saat ini, ambil saja kasus pada perusahaan besar bernama Royal Dutch Shell. Siapa yang tidak kenal dengan perusahaan multinasional satu ini? Perusahaan raksasa yang berbadan hukum Inggris dan Wales, berkantor pusat di Den Haag, serta tercatat di bursa efek London, adalah perusahaan yang telah beroperasi di lebih dari 90 negara dan kawasan dengan bisnis termasuk eksplorasi dan produksi minyak dan gas; produksi dan pemasaran liquefied natural gas (LNG) dan gas cair, manufaktur, pemasaran dan pengiriman produk minyak dan kimia serta proyek pembaruan energi. Shell merupakan hasil merger dua perusahaan besar, Royal Dutch Petroleum Company dari Belanda dan Shell Transport and Trading Ltd. Dari Inggris pada Pebruari 1970, dengan kesepakatan 60% grup-grup Royal Dutch Shell dikuasai oleh Belanda, dan 40% dikuasai oleh Inggris. Kini Shell telah beroperasi lebih dari 140 negara di seluruh dunia dalam bentuk grup-grup yang menjadi representasi Shell di masing-masing negara. Lahan bisnis Shell pun bervariasi seperti Shell Chemicals, Shell Hydrogen, Shell Motorsport, dan masih banyak lagi, termasuk pengeboran dan produksi minyak.

Sayangnya, besarnya lahan bisnis Shell tidak sebanding dengan tindakan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility—CSR) terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Seperti yang disebutkan dalam Jurnal Apokalips, Shell sendiri memiliki sejarah kejahatan di berbagai negara seperti kasus pelanggaran HAM, kebocoran pipa minyak, kebakaran, kecelakaan, kematian pekerjaan, pencemaran lingkungan, dan tentu saja pemanasan global. Shell terlibat dan terbukti bertanggung jawab atas aktivitas-aktivitas anti serikat pekerja di Inggris, tumpahnya 230.000 galon bensin ke anak sungai di Washington, kebakaran, ledakan, dan kebocoran pipa yang sering terjadi di pabrik Shell di Durban, sungai yang dijadikan masyarakat lokal Peru sebagai sumber kehidupan berubah warna menjadi hitam pekat karena tercampur limbah, dan masih banyak lagi kasus kejahatan yang dilakukan Shell. Hebatnya lagi, sebuah tindakan tidak adil –eksekusi mati—dijatuhkan kepada seorang aktivis lingkungan bernama Ken Saro-Wiwa dan 8 orang lainnya karena menentang Shell.

Pada tahun 1950-an, sejak cadangan besar petroleum ditemukan di Nigeria, minyak telah menjadi bagian penting dalam perekonomian Nigeria. Banyak korporasi multinasional menanamkan investasinya dalam melakukan eksplorasi, salah satunya adalah Shell dan yang paling besar mendominasi kegiatan tersebut. Shell bahkan menguasai sekitar 60% dari keseluruhan pasar minyak domestik di Nigeria. Setiap harinya sekitar 12 juta barrel minyak diekspor berasal dari 12% tanah Nigeria, namun tidak sediktpun masyarakat yang tinggal di atas tanah eksploitasi tersebut memperoleh keuntungan apapun. Tidak hanya merusak lingkungan, kelangsungan hidup masyarakat setempat pun diambil paksa. Kebocoran pada bahan-bahan pengolahan minyak sering terjadi, yang akhirnya mencemari perairan persawahan dan sumber air irigasi sehingga para petani mengalami gagal panen. Ribuan masyarakat Ogoni yang berdiam di Nigeria telah kehilangan pekerjaan, kesehatan, dan kehidupan dalam sekejap.

Tindakan yang dilakukan Shell sangat jauh dari tanggung jawab sosial perusahaan, mengingat Shell adalah perusahaan multinasional yang sudah sewajarnya memperhatikan kondisi dari segala aspek, baik lingkungan maupun masyarakat sekitar. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep CSR. Sebelumnya, menelisik sedikit tentang definisi CSR atau tanggung jawab perusahaan, menurut Bank Dunia “CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”.

Sementara versi Uni Eropa mengatakan ”CSR is aconcept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”.

Elkington pun memberi definisi dimana CSR mencakup tiga dimensi atau 3P, yaitu:

a. Mencapai keuntungan bagi perusahaan (Profit),

b. Memberdayakan masyarakat (People), dan

c. Memelihara kelestaria alam atau bumi (Planet).

Dari beberapa definisi di atas bila ditilik lebih jauh sebenarnya terkandung inti yang hampir sama, yakni selalu mengacu pada kenyataan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian penting dari strategi bisnis yang berkaitan erat dengan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Di samping itu, apa yang dilakukan dalam implementasi dari tanggung jawab sosial tersebut tidak berdasarkan pada tekanan dari masyarakat, pemerintah, atau pihak lain, tetapi berasal dari kehendak, komitmen, dan etika moral dunia bisnis sendiri yang tidak dipaksakan.

Semua organisasi pada hakikatnya merupakan sistem terbuka yang bergantung pada lingkungannya. Karena ketergantungan itu, maka setiap organisasi perlu memperhatikan pandangan dan harapan masyarakat. Semua organisasi harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan Shell, bukannya memperhatikan pandangan dan harapan masyarakat, Shell melalui badan hukumnya justru mengusir paksa masyarakat Ogoni yang memperjuangkan kehidupannya. Bahkan para aktivis Movement for Survival of the Ogoni People (MOSOP) dijatuhi eksekusi mati oleh pengadilan militer Nigeria karena memperjuangkan sumber kehidupan dan hak-hak hidup masyarakat Ogoni.

Tanggung jawab sosial memang telah menjadi isu yang kian penting karena masyarakat semakin besar asanya terhadap organisasi atau perusahaan. Tetapi tindakan-tindakan atas pelanggaran HAM maupun pengrusakan lingkungan seperti yang dilakukan Shell jelas ada di mana saja, bukan hanya di Nigeria. Namun uniknya, tindakan brutal yang dilakukan para korporat tak bertanggung jawab tersebut justru memperoleh perlindungan secara hukum. Shell, hingga kini, masih terus beraktivitas dengan bebas di Nigeria dengan 5 perusahaannya, yaitu Shell Petrolum Development Company (SPDC), Shell Nigeria Exploration an Production Company (SNEPCO), Shell Nigeria Gas (SNG), Shell Nigeria Oil Products (SNOP), dan Nigeria Liquified Natural Gas (NLNG). Padahal beberapa orang percaya bahwa untuk memperlakukan stakeholder dan lingkungan dengan penuh tanggung jawab, organisasi bisnis juga harus mendorong kesejahteraan umum masyarakat. Kemiskinan global dan pengakuan terhadap HAM adalah kegiatan yang sudah seyogyanya diususng oleh tiap perusahaan sejak awal berdirinya perusahaan hingga kapan pun.


Sumber:

Buletin Studi Ekonomi Volume 13 Nomor 1 Tahun 2008

Jurnal Apokalips Nomor 04 - Januari 2007


Kenapa Kuliah?


Saya mahasiswa semester delapan di sebuah fakultas yang pertama kali berdiri di Indonesia. Kira-kira fakultas tempat saya bergelut selama ini sudah berusia lebih dari setengah abad. Orang-orang kebanyakan selalu didengungkan istilah “kerja” sebelum memblok jurusan pilihannya. Semacam ada sugesti di benak mereka. Kuliahlah nak supaya jadi dokter, supaya jadi kontraktor, supaya jadi dosen, supaya jadi karyawan bank, supaya jadi arsitek, supaya dapat pekerjaan. Dan setelah dapat pekerjaan yang berpenghasilan di atas gaji pensiunan tentara seperti almarhum kakek saya, secara tanpa sadar bisa beli ini, beli itu. Dan tahu apa setelahnya? Kasta tergambar di sini.

Jika kau kuliah, lalu tertulis kata manajer, kontraktor, atau dokter di kartu namamu, kau bebas keluar masuk butik apapun. Tapi kenapa harus ada pemikiran seperti itu? Tidak bolehkah bila kuliah benar-benar untuk mengisi sebanyak-banyaknya bekal di otak kita? Ini sama saja dengan seseorang menyuguhkan kau arak di gelas beningmu, padahal saat ini tenggorokanmu merindukan es teh manis dengan perasan air lemon di dalamnya. Atau mungkin seperti ini, kau ingin sekali kentut dengan irama membahana namun kau urungkan keinginan terpenting dan mendesakmu karena di sekitarmu adalah orang-orang dengan titelnya sebagai si tukang kritik. Kita seperti hidup di paradigma yang orang lain bangun. Kita seperti bayangan gelap gulita yang jika disinari maka lenyaplah sudah.

Kuliah tidak lagi menjadi kebutuhan jasmani, rohani, dan pikiran. Kuliah tidak lagi menjadi oase kehidupan. Kuliah bukan lagi teman bapak Oemar Bakri. Kini, kuliah telah menjadi pencetak mesin-mesin industri, mesin-mesin pemasaran. Kuliah telah memciptakan kasta antara kita, sepertinya ini akan pengaruhi cinta kita. Entah dari mana ini bermuara. Ini bak lingkaran setan. Kuliah, kerja, dapat gaji, menikah, bahagia. Oh God, kaku nian hidup seperti itu. Amir Khan dalam filmnya berjudul 3 idiots memberi gambaran di luar pemikiran “biasa-biasa saja” saya. Jangan kau mengejar kesuksesan dengan menjadi insinyur. Jadilah insinyur yang baik, maka kesuksesan akan mengikutimu. That’s true, man!

Jika ada pertanyaan seperti ini di sebuah papan tulis putih:

“Kenapa Anda ingin kuliah?”

Lantas apa jawabanmu?
  • Supaya dapat kerja.
  • Ingin jadi pegawai pemerintahan.
  • Ingin menciptakan lapangan pekerjaan.
  • Supaya jadi karyawan bank.
  • Supaya bisa beli mobil.
  • Ingin bahagiakan orangtua.
  • Ingin jadi guru.
  • Agar berguna bagi nusa-bangsa.
  • Lain-lain: ........................................................................................... (sebutkan)