Cinta Abadi Tak Mati


Oleh: Bayu Gawtama

"Bu, itu apa yang kerlap-kerlip di atas...?" telunjukku mengarah ke langit.

"Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan," terang Ibu dengan sempurna sekaligus bijak.

Saya ingat, usiaku tiga tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal dan mengejar seribu jawaban dari siapa pun terhadap hal yang baru kulihat. Dan ibu, dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski saya tidak pernah puas, tapi saya cukup yakin saat itu, bahwa ibu segala tahu.

Sejak malam itu, saya selalu berdiri di belakang rumah menengadah ke langit memandangi jutaan bintang yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula ibu setia menemaniku. Saya ingat, ibu cukup kerepotan mencari jawaban ketika saya bertanya, apakah bintang-bintang itu punya nama. Dengan cerdik ibu menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia. "Kalau manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama," ucap ibu.

"Yang di sebelah sana, namanya siapa, bu...?" Keningnya berkerut. otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya,"Ooh... yang itu ibu tahu, ia adalah bintangnya ibu, karena namanya sama persis dengan nama anak ibu ini..." Dekapannya begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali ibu. Waktu itu yang ku tahu, ibu sekadar menjalankan kewajibannya sebagai orangtua untuk menemani dan membahagiakanku.

Keesokan harinya, setiap malam tiba, ibu sudah tahu, sebelum waktu tidur tiba, saya selalu mengajaknya memandangi langit. Karena kini saya semakin senang sejak ibu mengatakan bahwa bintang yang pernah saya tunjuk itu adalah saya. Tapi hari ini ibu membuatku kecewa karena ia tidak bisa menemaniku. "Ibu sakit," kata ayah.

Saya menangis, sebab malam itu saya berniat tidak hanya minta ibu menemaniku seperti malam-malam sebelumnya. Tapi saya ingin ibu mengambilkanku bintang-bintang itu dan membawanya ke rumah. Saya ingin mereka menjadi temanku bermain hingga saya tak perlu bersedih ketika larut ibu mengajakku tidur.

Tapi ibu tetap tidak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-bintang, sekadar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan menyapa kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan pun, ibu tak kuat. Hingga malam berakhir, saya masih kecewa. Malam itu saya bahkan tak mau makan, hingga ibu yang sedang sakit pun harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur. Untuk yang ini pun saya tak tahu, adalah juga kewajiban orangtua, menyanyikan lagu pengantar tidur.

Esok harinya saya demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di belakang rumah "bermain-main" dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, ibu tak pernah panik. Sentuhan hangatnya membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah tak kunjung sembuh demamku. Padahal ibu sudah membawaku ke dokter.

Ibu semakin panik. Panasaku tinggi dan sering mengigau. Tetapi justru di saat mengigau itulah ibu tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. Sampai di sini, saya masih beranggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekadar kewajiban orangtua.

Aku tidak tahu apa yang ibu perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, saya terbangun, dan aku terkejut, hampir tak percaya apa yang ku tatap di langit-langit kamar. Bintang-bintang itu...ibu membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna metalik, banyak sekal, puluhan, entah, mungkin ratusan. Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat tidur dan lantai kamar.

Peluk cium dari saya untuk ibu karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu ke rumah. Dan ibu benar, saya lihat di masing-masing bintang itu ada namanya, salah satunya, ada bintang yang paling bagus dan paling besar, diberinya sesuai namaku.

Anak ibu yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Tapi saya tetap anak ibu. Suatu saat, ku telpon ibu untuk mengabari bahwa saya sedang tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, diantar salah seorang adikku, ibu datang. dibiarkannya kepalaku bersandar di pelukannya, kurasakan kembali kehangatan itu, hingga tertidur.

Sore, ibu hendak pulang. Sebenarnya saya ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari, tapi adikku berbisik, "Waktu Abang telepon, ibu sebenarnya sedang sakit...."

Ada setitik air di sudut mata ini. Saya tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi kusadari. Semua yang dilakukan ibu untuk bintang kecilnya ini, bukan sekadar kewajiban. Itulah yag disebut cinta, cinta abadi. Cinta yang tak pernah bisa saya membalasnya. Dan ibu adalah bintang sesungguhnya bagiku.

0 komentar:

Posting Komentar